BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
belakang
Bank Bagi Hasil
sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan lembaga perbankan yang
menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsip‐prinsip hukum atau
syariah Islam, seperti diatur dalam Al Qurʹan dan Al Hadist. Perbankan Syariah merupakan suatu
sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum
islam).Usaha pembentukkan sistem ini berangkat dari larangan islam untuk
memungut dan meminjam bedasarkan bunga yang termasuk dalam riba dan investasi
untuk usaha yang dikategorikan haram,misalnya dalam makanan,minuman,dan
usaha-usaha lain yang tidak islami,yang hal tersebut tidak diatur dalam Bank
Konvensional.
Di Indonesia pelopor perbankan
syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun1991, bank ini diprakarsai
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini
sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya
hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana
kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.
Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang
yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan.
Adanya Perbankan syariah di
Indonesia bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara Indonesia yang hampir
seluruh penduduknya beragama Islam.Dengan adanya bank tersebut diharapkan tidak
adanya kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,sehingga
mereka terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani
mereka dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Namun realitas yang ada,dari 80%
penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak lebih dari 10% di antara mereka
yang bertransaksi secara syar’I lebih-lebih dalam hal perbankan.Sampai saat ini
perbankan syariah di Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya,banyak
masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan terhadap perbankkan syariah.
Bahkan para ulama-ulama di negeri
ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di bank konvensional.Hal
tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sisitem operasi perbankan
syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem operasi yang ada
dalam bank konvensional.
Hal ini terjadi karena kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap bank syariah dan berakibat kurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap bank syariah.
Hal
tersebut menjadi landasan untuk menyadarkan masyarakat akan keurgenan
perbankkan islam di Negara ini. Khusunya bagi mereka yang beragama
islam.Upaya-upaya pensosialisaian mekanisme dan syariah di rasa perlu,sehingga
masyarakat tidak lagi terjebak dalam transaksi-transaksi yang tidak islami dan
masyarakat kembali manaruh kepercayaan terhadap transaksi syariah.
1.2. Identifikasi masalah
1. Menjelaskan
Pengertian Bank Syariah
2. Menjelaskan
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
3. Menjelaskan
Dasar Hukum Bank Syariah
4. Karakteristik
Bank Syariah
5. Menjelaskan
Fungsi Bank Syariah
6. Prinsip
Bank Syariah
7. Kegiatan
Usaha Bank Syariah
8. Prinsip
– Prinsip Dalam Menghimpun Dana Bank Syariah
9. Prinsip
– Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah
10. Keunggulan
Dan Kelemahan Bank Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
2.1
Pengertian Bank Syariah
Bank
syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS). Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama
islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba
serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal
ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Persaingan usaha
antar bank yang semakin tajam dewasa ini telah mendorong munculnya berbagai
jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Dalam
situasi seperti ini Bank Umum (konvensional) akan menghadapi persaingan baru
dengan kehadiran lembaga keuangan ataupun bank non-konvensional. Fenomena ini
ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan dan bank dengan sistem syariah.
2.2
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Abdul
Gani Abdullah mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum yang dilakukannya
terhadap perbankan syariah, menemukan sedikitnya empat hal yang menjadi tujuan
pengembangan perbankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu :
a) Untuk
memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep
bunga.
b) Terciptanya
dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasi terlaksananya sistem
perbankan konvensional dan perbankan syariah dengan baik dalam proses kompetisi
yang sehat, dimana didukung oleh pola perilaku bisnis yang bernilai dan
bermoral.
c) Mengurangi
risiko kegagalan sistem keuangan Indonesia.
d) Mendorong
peran perbankan dalam menggerakkan sector riil dan membatasi segala bentuk
eksploitasi yang tidak produktif serta mengabaikan nilai-nilai moral.
Sebagai
langkah awal perkembangan bank syariah di Indonesia, pada pertengahan tahun
1970-an diadakan pembicaraan mengenai bank syariah pada seminar Hubungan
Indonesia- Timur Tengah yang diadakan pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam
seminar yang diadakan Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan
Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran secara luas mengenai perlunya umat
Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat
itu. Namun, usaha untuk merealisasikan ide perbankan syariah tersebut terhambat
oleh beberapa alasan, yaitu :
a) Operasi
Bank Syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena itu
tidak sejalan dengan Undang-undang Pokok Perbankan yang berlaku, yaitu
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.
b) Konsep
banksyariah dari segi politis dinilai bermuatan ideologis, merupakan bagian
atau berkaitan dengan pembentukan negara Islam, oleh karena itu tidak
dikehendaki pemerintah.
c) Belum
ada yang bersedia menaruh modal pada ventura semacam itu, sementara pendirian
bank baru dari negara Timur Tengah masih dicegah,antara lain oleh kebijakan
pembatasan bank asing untuk membuka cabangnya di Indonesia.
Pada awal
periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam
mulai dilakukan dengan pihak yang terlibat dalam pengkajiannya adalah Karnaen
A. Perwaatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain.
Uji coba padsa skala yang relative terbatas telah diwujudkan pada masa itu
yaitu dengan pembentukan Baitut Tamwil-Salman di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti
di Jakarta, yang kedua lembaga keuangan syariah tersebut berbadan hukum
koperasi. Pembentukan ini juga didorong oleh keluarnya Deregulasi Perbankan
Paket 1 Juni Tahun 1983, yang telah membuka belenggu penetapan bunga perbankan
oleh pemerintah. Dengan dibebaskannya penetapan besar bunga kepada
masing-masing bank, maka suatu bank dapat menetapkan bunga sebesar 0% (nol
persen) yang memungkinkan beroperasinya bank tanpa bunga yang berdasarkan bagi
hasil keuntungan. Namun, karena belum dimungkinkannya pendirian bank baru pada
masa itu, sedangkan bank-bank yang telah ada belum tertarik untuk
mengaplikasikan sistem bank tanpa bunga yang dinilai kurang mengntungkan, maka
bank syariah belum dapat berdiri di Indonesia, sehingga dibentuklah badan hukum
koperasi sebagai bentuk badan hukumnya.
Pada tahun 1988,
gagasan mengenai bank syariah kembali muncul yang dilatarbelakangi dengan
dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi
perbankan. Liberalisasi perbankan tersebut memungkinkan didirikannya bank-bank
baru selain yang telah ada. Maka dari itu didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat
Syariah dibeberapa daerah di Indonesia, yaitu Badan Perkreditan Syariah (BPRS)
Berkah Amal Sejahtera, BPRS Dana Mardhatillah, dan BPRS Amanah Rabaniah, yang
beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat di Aceh.
Sebagai hasil
kerja Tim Perbankan MUI tersebut lahirlah Bank Muamalat Indonesia pada 1
November 1991. Pada saat penandatanganan Akte pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp 84 Miliar. Kemudian
pada tanggal 3 November 1991 dalam acara silaturahmi presiden di Istana Bogor
dapat dipenuhi dengan total komitmen awal sebesar Rp. Sebelumnya, pada 18-20
Agustus 1990 diadakan lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diadakan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) di Cisarua, Bogor, Jawa barat. Hasil lokakarya tersebut
dibahas lebih mendalam dalam Musyawarah Nasional IV MUI pada 22-25 Agustus
1990. Berdasarkan Amanat Munas IV MUI tersebut dibentuklah kelompok kerja untuk
mendirikan Bank Islam di Indonesia kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan
MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Dalam
menjalankan operasinya sebagai bank yang berdasarkan prinsip syariah, Bank
Muamalat Indonesia mengalami banyak hambatan. Selain karena peraturan hukum
tentang bank syariah belum spesifik mengatur dan memberi ruang dalam
pengembangan perbankan syariah, juga ketidakmampuan BMI untuk bersaing dengan
bank konvensional yang telah memiliki jaringan yang kuat hingga ke pelosok-pelosok
daerah. Selain itu, untuk menjaga likuiditas bank dan mempertahankan
eksistensinya, yaitu melalui usaha-usaha mendapatkan keuntungan yang sewajarnya
melalui bagi hasil, maka BMI tidak bisa mengelak untuk tidak menggarap kalangan
menengah keatas sebagai nasabah dan debitur yang paling potensial. Hal ini yang
kemudian menyebabkan banyak umat Islam masih belum merasakan kehadiran BMI
memberikan sentuhan yang berarti pada mereka sebagai bank yang mengusung
nilai-nilai Islam.
Era reformasi
kemudian juga memberikan perkembangan baru dalam perbankan syariah di
Indonesia. Para pelaku perbankan dan pemerintah telah mendapatkan paradigma
baru dalam memandang perbankan Islam di Indonesia. Krisis moneter yang dialami
sebelumnya ternyata memberikan implikasi positif dalam sejarah perkembangan
bank syariah di Indonesia. Bentuk perkembangan paling besar bank syariah pada
masa itu ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
yang merupakan regulasi mengenai perbankanuntuk bangkit dari krisis ekonomi
yang melanda pada waktu itu.
Dalam
Undang-undang tersebut memberi arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka
cabang syariah atau mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Hal
tersebut disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional yang ingin
mulai memasuki usaha bisnis perbankan syariah, untuk itu Bank Indonesia
mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari
segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung dengan DPNP (Direktorat
Penelitian dan Pengembangan Perbankan), kredit , pengawasan, akuntansi, riset
dan moneter. Beberapa lembaga perbankan konvensional yang membuka cabang
syariah pada masa-masa awal reformasi adalah Bank IFI cabang syariah, Bank
Syariah Mandiri, dan Bank BNI Divisi
Syariah.
Pada
masa ini, ada beberapa permasalahan yang belum terselesaikan dari sistem hukum
maupun dari sistem ekonomi mengenai perbankan syariah. Hal ini sebagaimana
digambarkan Umar Chappra dan ditidaklanjuti oleh Muhammad Syafi’i Antonio dalam
kajian Tazkia Institute. Persoalan-persoalan itu adalah sebagai berikut:
a) Pada
umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang
baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan
pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad
lainnya belum disiapkan.
b) Perbankan
syariah dalam perkembangannya cukup pesat, tetapi memiliki asset dan akses
pasar yang masih kecil. Baru mencapai lebih dari satu persen dari total asset
perbankan nasional sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan ekspansi
dan diverifikasi usaha.
c) Dalam
kondisi demikian, tentunya tingkat persaingan dengan sistem ekonomi
konvensional belum berimbang karena terbatasnya jaringan kantor dan lembaga
penunjang lainnya. Juga belum memadai untuk keperluan likuiditas dan
pengelolaan risiko.
d) Belum
ada keseragaman dalam praktek akuntansi dan sistem audit perbankan syariah,
termasuk didalamnya keseragaman laporan keungan sehingga otoritas pengatur
maupun investor mengalami kesulitan untuk melakukan perbandingan dalam menilai
kinerja perbankan syariah. Peran Accounting Organization for Islamic
Institution di Bahrain belum sepenuhnya dapat mengantisipasi kekurangan ini.
Perkembangan terakhir menunjukkan semakin membaiknya kinerja lembaga ini dalam
memjalankan tugas-tugasnya.
e) Pada
umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang
baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan
pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad
lainnya belum disiapkan.
f) Perlakuan
oleh pihak perbankan syariah disatu sisi dengan nasabah pada sisi lainnya belum
berlangsung sesuai prinsip kesetaraan. Masih seperti yang diperaktikkan dalam
perbankan konvensional, dimana posisi pihak perbankan masih jauh lebih kuat
dibanding nasabahnya. Idealnya, perbankan syariah memperlakukan nasabah sebagai
mitranya yang sejajar sehigga tidak terkesan sebagai hubungan kemitraan yang
berdasarkan hubungan keyakinan semata, melainkan juga harus rasional dan
objektif.
Pada
perkembangan selanjutnya hingga saat ini, dengan dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai bank syariah, serta
dibentuknya badan-badan khusus yang bertugas membenahi sistem perbankan syariah
di Indonesia. Sepanjang tahun 2010 perbankan syariah tumbuh dengan volume usaha
yang tinggi yaitu sebesar 43,99% meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 26,55%
dengan pertumbuhan dana yang dihimpun maupun pembiayaan yang relative tinggi,
serta penyediaan penyediaan akses jaringan yang meningkat dan menjangkau
kebutuhan masyarakat secara luas sehingga masih cukup kuat untuk memanfaatkan
potensi membaiknya perekonomian nasional.
2.3
Dasar Hukum Bank Syariah
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 21 Tahun
2008 tentang perbankan syariah, bank syariah di wajibkan untuk menjalankan
fungsi menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Di samping itu, bank
syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal dan
menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank syariah juga dapat
menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada
pengelola wakaf (nazhir) sesuai
dengan kehendak pemberi wakaf.
2.4
Karakteristik Bank Syariah
Karakteristik
Bank Syariah diantaranya :
1. Berdasarkan
prinsip syariah
2. Implementasi
prinsip ekonomi Islam dg ciri:
§ pelarangan
riba dalam berbagai bentuknya
§ Tidak
mengenal konsep “time-value of money”
§ Uang
sebagai alat tukar bukan komoditi yg diperdagangkan.
3. Beroperasi
atas dasar bagi hasil
4. Kegiatan
usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa
5. Tidak
menggunakan “bunga” sebagai alat untuk memperoleh pendapatan
6. Azas
utama => kemitraan, keadilan, transparansi dan universal
7.
Tidak membedakan secara tegas sector
moneter dan sector riil (dapat melakukan transaksi 2 sektor riil.
2.5
Fungsi Bank Syariah
Bank
syariah dalam skema non-riba memiliki empat fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi
Manajer Investasi
Fungsi
ini dapat dilihat dari segi penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya dana
mudharabah. Bank syariah bertindak
sebagai manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dalam hal dana
tersebut harus dapat disalurkan pada penyalur yang produktif, sehingga dana
yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara
bank syariah dan pemilik dana.
2. Fungsi
Investor
Dalam
penyaluran dana bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik dana).
Penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor –
sektor yang produktif dengan risiko minim dan tidak melanggar ketentuan
syariah.
Produk
investasi yang sesuai dengan syariah diantaranya akad jual beli (murabahah,
salam, dan istishna), akad investasi (mudharabah dan musyarakah), akad sewa
menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik) dan beberapa akad lainnya yang
dibolehkan oleh syariah.
3. Fungsi
Sosial
Fungsi
ini merupakan sesuatu yang melekat pada bank syariah. Ada dua instrumen yang
digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen
zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf)
dan instrumen qardhul hasan.
Instrumen Ziswafberfungsi untuk
menghimpun ziswaf dari masyarakat, pegawai bank, serta bank sendiri sebagai
lembaga milik para investor. Instrumen qardhul
hasan berfungsi menghimpun dana dari penerimaan yang tidak memenuhi
kriteria halal serta dana infak dan sadaqah yang tidak ditentukan peruntukannya
secara spesifik oleh yang memberi.
4. Fungsi
jasa keuangan
Fungsi
jasa keuangan yang dijalankan oleh bank syariah tidaklah berbeda dengan bank
konvensional, seperti memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran
gaji, letter of guarantee, letter of credit, dan lain-lain.
Namun
mekanisme untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut, bank syariah
tetap menggunakan skema yang sesuai dengan prinsip syariah.
2.6
Prinsip Bank Syariah
Dalam melaksanakan fungsi jasa
keuangan perbankan syariah menggunakan beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan, diantaranya :
a. Prinsip
Wakalah
Wakalah
berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
b. Prinsip
Kafalah
Kafalah
adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua
atau yang ditanggung (makfuul anhu ashil)
c. Prinsip
Hawalah
Hawalah
adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhil) kepada orang lain yang menanggungnya (munhal’ alaih)
d. Prinsip
Sharf
Prinsip
Sharf adalah prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik
antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
e. Prinsip
Ijarah
Objek
ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa, apabila dikaitkan dengan
penggunaan barang maka diistilahkan dengan sewa – menyewa sedangkan apabila
dikaitkan dengan penggunaan jasa maka diistilahkan dengan upah – mengupah.
2.7
Kegiatan Usaha Bank Syariah
1. Penghimpun
Dana
2. Penyaluran
dana
3. Jasa
pelayanan
4. Berkaitan
dengan surat berharga
5. Lalu
lintas keuangan dan pembayaran
6. Berkaitan
dengan pasar modal
7. Investasi
8. Dana
pensiun
9.
Sosial
2.8 Prinsip – Prinsip Dalam Menghimpun Dana Bank
Syariah
Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk
giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam
penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama
titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan
saja bila si penitip menghendaki.
Ketentuan umum dari produk ini
adalah :
• Keuntungan
atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedang pemilik dana tidak dijanjikan imabalan dan tidak menanggung kerugian.
Bank dimungkinkan memberi bonus kapada pemilik dana sebagai suatu insentif
untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
• Bank
harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana
yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan
buku cek, bilyet giro, dan debit card.
• Terhadap
pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk
sekadar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
• Ketentuan
– ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku
selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Yang termasuk dalam produk Bank
Syariah dalam menghimpun dana yaitu :
1. Giro
Syariah
Giro
adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek/ bilyet giro, atau
dengan cara pemindahbukuan.
2. Tabungan
Syariah
Tabungan
adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu
yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek/bilyet giro.
3. Deposito
Syariah
Deposito
adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank.
Mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak,
di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi
pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian
pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.
Jenis-Jenis
Mudharabah
• Mudharabah
Mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat
berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana,
yaitu tabungan mudharaba dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini,
tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
• Mudharabah
Muqayyadah
Adalah jenis mudharabah yang pada
akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu misalnya hanya boleh
digunakan untuk usaha tertentu, di kota tertentu, dan dalam waktu tertentu.
Ikatan-ikatan ini membuat akad mudharabah menjadi terikat dan sempit sehingga
disebut mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah).
Mudharabah Muqayyah terbagi 2 yaitu
:
§ Mudharabah
Muqayyadah on Balance sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana
pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi
bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, disyaratkan
digunakan deangan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah
tertentu.
§ Mudharabah
Muqayyadah off Balance sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada usahanya, di mana bank bertindak sebagai
perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana
usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus
dipenuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan
pelaksanaan usahanya.
2.9
Prinsip – Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah
a.
Prinsip
Jual Beli (Ba’i)
Dalam melakukan jual beli digunakan 3 skema yang meliputi :
§
Jual beli dengan skema Murabahah
Jual
beli dengan skema ini menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati
oleh penjual dan pembeli. Skema ini digunakan oleh bank untuk nasabah yang
hendak memiliki suatu barang, sedangkan nasabah yang bersangkutan tidak
memiliki uang pada saat pembelian. Dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai
penjual sedangkan nasabah yang membutuhkan barang bertindak sebagai pembeli.
§
Jual beli dengan skema Salam
Jual
beli dengan skema ini merupakan jual beli yang pelunasannya dilakukan terlebih
dahulu oleh pembeli sebelum barang pesanan diterima.
§ Jual
beli dengan skema Istishna
Jual
beli dengan skema ini adalah jual beli yang didasarkan atas penugasan oleh
pembeli kepada penjual yang juga produsen untuk menyediakan barang atau suatu
produk sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan
harga yang disepakati.
b. Prinsip Investasi
Dalam melakukan investasi, dapat
dilakukan dengan skema mudharabah dan skema musyarakah.
Investasi
dengan skema Mudharabah
Akad investasi dengan skema
mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak
menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian
keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.
Dalam skema ini bank bertindak
sebagai shahibul maal (pemilik dana), sedangkan nasabah yang menerima
pembiayaan bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), seluruh modal berasal
dari pihak bank syariah sebagai pemilik dana.
Investasi
dengan skema Musyarakah
Investasi dengan skema ini adalah
kerja sama investasi para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka pada
suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung semua
pemilik modal berdasarkan porsi pemilik modal masing – masing.
c. Prinsip Sewa
Sewa
dengan skema Ijarah
Sewa dengan skema ijarah adalah
transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan
imbalan atas objek sewa yang disewakan. Dalam transaksi ini bank syariah
bertindak sebagai pemberi sewa atau pemilik objek sewa, sedangkan nasabah
bertindak sebagai penyewa.
Sewa
dengan skema Ijarah Muntahiya Bittamlik
Sewa dengan skema ini adalah
transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan
imbalan atas objek sewa yang disediakannya dengan opsi perpindahan hak milik
pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Berbeda dengan transaksi Ijarah,
pada transaksi ini memberi hak pilih pada penyewa untuk memiliki barang yang
disewa.
d. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Transaksi yang penanaman dana dari pemilik modal
dengan pengelola untuk melakukan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan
pembagian hasil antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian yang telah
disepakati.
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah:
§ Musyarakah
Musyarakah adalah semua bentuk
usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana secara bersama – sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Bentuk kontribusi dari pihaki yang bekerja sama dapat berupa dana, barang
perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), keahlian
(skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset(
seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan
barang – barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum
seluruh kombinasi dari bentu kontribusi masing – masing pihak dengan atau tanpa
batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
§ Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama
antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal mempercayakan seju7mlah modal
kepada pengelola dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.Bentuk ini
menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian
dari pengelola. Beberapa ketentuan umum mudharabah adalah :
ü Jumlah
modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harusd iserahkan
tunai;
ü Hasil
dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua
cara: perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari
keuntungan proyek (profit loss sharing).
ü Hasil
usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu
yang disepakati.
ü Bank
berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak berhak mencampuri
urusan pekerjaan/usaha nasabah.
e. Akad pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah
pelaksanaan pembayaran. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya – biaya
yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini
sekadar untuk menutupi biaya yang benar – benar timbul.
ü Hiwalah
( Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi
mengalihkan utang piutang. Dalam praktik perbankan syariah, fasilitas hiwalah
lazimnya untuk melanjutkan suplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang.
ü Rahn
(Gadai)
Tujuan akad rahn adalah memberikan
jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang
digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Milik nasabah sendiri,
- Jelas ukuran, sifat, dan nilainya
ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
- Dapat dikuasai namun tidak boleh
dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat
menggnakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan
merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau
cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
ü Qardh
Qardh adalah pinjaman uang.
Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal yaitu:
- Sebagai pinjaman talangan haji,
diman nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat
penyetoran biaya perjalanan haji.
- Sebagai pinjaman tunai (cash
advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan
untuk menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah akan mengembalikannya
sesuai waktu yang ditentukan.
- Sebagai pinjaman kepada pengusaha
kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila
diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
- Sebagai pinjaman kepada pengurus
bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya
kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara angsur
melalui potongan gajinya.
ü Wakalah
(Perwakilan )
Wakalah dalam aplikasi perbankan
terjadi apabila nasabah memberikan kuasa pada bank untuk mewakili dirinya
melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of Credit),
inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan
dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukuan L/C,
apabila dana nasabah tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat
dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau
musyarakah.
ü Kafalah
(Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan
tujuan untuk mrnjamin suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan
nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahnb. Bank
dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan
pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
f. Pembiayaan
dengan bagi basil
·
Al-musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerja
sama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing
pihak memberikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
AI-musyarakah dalam
praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek.Dalam hal ini
nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan
proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk
bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah.
Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada
lembaga keuangan modal ventura.
·
AI-mudharabah
Pengertian AI-mudharabahadalah akad kerja sama
antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak
lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian
itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan
kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.
Ø
mudharabah muthlaqah merupakan kerja
sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya
tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
Ø mudharabah
muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah
muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan
daerah bisnis.
Dalam dunia perbankan biasanya
diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan modal
kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan
berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan
dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha
tertentu.
2.10
Keunggulan Dan Kelemahan Bank Syariah
2.10.1
Keunggulan Bank Syariah
1)
Bank syariah relatif lebih mudah
merespons kebijaksanaan pemerintah;
2) Terhindar
dari praktik money laundring;
3) Bank
syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya;
4) Tidak
mudah dipengaruhi gejolak moneter;
5)
Mekanisme bank syariah didasarkan pada
prinsip efisiensi, keadilan dan kebersmaan.
2.10.2
Kelemahan Bank Syariah
1) Jaringan
kantor bank syariah belum luas;
2) SDM
bank syariah masih sedikit;
3) Pemahaman
masyarakat tentang bank syariah masih kurang;
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian kita sepakati bersama
bahwa perbankan islam adalah lembaga keuangan yang menjalankan aktivitas
perbankan konvensional murni yang tidak sama sekali ada kaitannya dengan
kegiatan keagamaan yang akan menimbulkan kontradiksi apabila terjadi sebuah
kesalahan, maka agama islam termasuk di dalamnya umat islam itu akan
tersalahkan.
Namun dalam kegiatannnya perbankan
islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan prinsip-prinsip islam itu
sendiri, karena timbulnya perbankan islam adalah untuk menyempurnakan dari
sistem sosialis dan konvensional. Yang bukan saja berorientasi pada profitabilitas
tapi juga bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan etika dan moral
dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat menciptakan sebuah kegiatan
perbankan yang efisien dan efektip (bebas dari Riba, Gharar, Maysir, dll)
sehingga dapat berimplikasi pada pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat,
menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan menghilangkan paradigma dzalim.
BAB IV
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
:
Andri Soemitra. 2009. Bank dan lembaga keuangan syariah. Jakarta : Kencana.
Kautsar Riza Salman. 2012. Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta : Indeks.
Sumber
lain :
http://www.
Makalahegi.blogspot.com Diakses pada tanggal 01 Mei 2014
http://www.
Eramoeslem.com”ekonomi syariah