Rabu, 06 Mei 2015

MAKALAH BANK SYARIAH


BAB I

PENDAHULUAN

           

1.1.      Latar belakang

Bank Bagi Hasil sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsipprinsip hukum atau syariah Islam, seperti diatur dalam Al Qurʹan dan Al Hadist. Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam).Usaha pembentukkan sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut dan meminjam bedasarkan bunga yang termasuk dalam riba dan investasi untuk usaha yang dikategorikan haram,misalnya dalam makanan,minuman,dan usaha-usaha lain yang tidak islami,yang hal tersebut tidak diatur dalam Bank Konvensional.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Adanya Perbankan syariah di Indonesia bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara Indonesia yang hampir seluruh penduduknya beragama Islam.Dengan adanya bank tersebut diharapkan tidak adanya kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,sehingga mereka terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani mereka dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Namun realitas yang ada,dari 80% penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak lebih dari 10% di antara mereka yang bertransaksi secara syar’I lebih-lebih dalam hal perbankan.Sampai saat ini perbankan syariah di Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya,banyak masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan terhadap perbankkan syariah.
Bahkan para ulama-ulama di negeri ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di bank konvensional.Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sisitem operasi perbankan syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem operasi yang ada dalam bank konvensional.
Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap bank syariah dan berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Hal tersebut menjadi landasan untuk menyadarkan masyarakat akan keurgenan perbankkan islam di Negara ini. Khusunya bagi mereka yang beragama islam.Upaya-upaya pensosialisaian mekanisme dan syariah di rasa perlu,sehingga masyarakat tidak lagi terjebak dalam transaksi-transaksi yang tidak islami dan masyarakat kembali manaruh kepercayaan terhadap transaksi syariah.

1.2.      Identifikasi masalah

1.      Menjelaskan Pengertian Bank Syariah
2.      Menjelaskan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
3.      Menjelaskan Dasar Hukum Bank Syariah
4.      Karakteristik Bank Syariah
5.      Menjelaskan Fungsi Bank Syariah
6.      Prinsip Bank Syariah
7.      Kegiatan Usaha Bank Syariah
8.      Prinsip – Prinsip Dalam Menghimpun Dana Bank Syariah
9.      Prinsip – Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah
10.  Keunggulan Dan Kelemahan Bank Syariah.

  

BAB II

PEMBAHASAN MATERI


2.1              Pengertian Bank Syariah

Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Persaingan usaha antar bank yang semakin tajam dewasa ini telah mendorong munculnya berbagai jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Dalam situasi seperti ini Bank Umum (konvensional) akan menghadapi persaingan baru dengan kehadiran lembaga keuangan ataupun bank non-konvensional. Fenomena ini ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan dan bank dengan sistem syariah.

2.2              Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

Abdul Gani Abdullah mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum yang dilakukannya terhadap perbankan syariah, menemukan sedikitnya empat hal yang menjadi tujuan pengembangan perbankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu :
      a)      Untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga.
     b)  Terciptanya dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasi terlaksananya sistem perbankan konvensional dan perbankan syariah dengan baik dalam proses kompetisi yang sehat, dimana didukung oleh pola perilaku bisnis yang bernilai dan bermoral.
      c)      Mengurangi risiko kegagalan sistem keuangan Indonesia.
   d)  Mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sector riil dan membatasi segala bentuk eksploitasi yang tidak produktif serta mengabaikan nilai-nilai moral.

Sebagai langkah awal perkembangan bank syariah di Indonesia, pada pertengahan tahun 1970-an diadakan pembicaraan mengenai bank syariah pada seminar Hubungan Indonesia- Timur Tengah yang diadakan pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang diadakan Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran secara luas mengenai perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat itu. Namun, usaha untuk merealisasikan ide perbankan syariah tersebut terhambat oleh beberapa alasan, yaitu :
    a)      Operasi Bank Syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena itu tidak sejalan dengan Undang-undang Pokok Perbankan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.
     b)      Konsep banksyariah dari segi politis dinilai bermuatan ideologis, merupakan bagian atau berkaitan dengan pembentukan negara Islam, oleh karena itu tidak dikehendaki pemerintah.
     c)      Belum ada yang bersedia menaruh modal pada ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari negara Timur Tengah masih dicegah,antara lain oleh kebijakan pembatasan bank asing untuk membuka cabangnya di Indonesia.
Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan dengan pihak yang terlibat dalam pengkajiannya adalah Karnaen A. Perwaatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain. Uji coba padsa skala yang relative terbatas telah diwujudkan pada masa itu yaitu dengan pembentukan Baitut Tamwil-Salman di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta, yang kedua lembaga keuangan syariah tersebut berbadan hukum koperasi. Pembentukan ini juga didorong oleh keluarnya Deregulasi Perbankan Paket 1 Juni Tahun 1983, yang telah membuka belenggu penetapan bunga perbankan oleh pemerintah. Dengan dibebaskannya penetapan besar bunga kepada masing-masing bank, maka suatu bank dapat menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen) yang memungkinkan beroperasinya bank tanpa bunga yang berdasarkan bagi hasil keuntungan. Namun, karena belum dimungkinkannya pendirian bank baru pada masa itu, sedangkan bank-bank yang telah ada belum tertarik untuk mengaplikasikan sistem bank tanpa bunga yang dinilai kurang mengntungkan, maka bank syariah belum dapat berdiri di Indonesia, sehingga dibentuklah badan hukum koperasi sebagai bentuk badan hukumnya.
Pada tahun 1988, gagasan mengenai bank syariah kembali muncul yang dilatarbelakangi dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi perbankan. Liberalisasi perbankan tersebut memungkinkan didirikannya bank-bank baru selain yang telah ada. Maka dari itu didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah dibeberapa daerah di Indonesia, yaitu Badan Perkreditan Syariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera, BPRS Dana Mardhatillah, dan BPRS Amanah Rabaniah, yang beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat di Aceh.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut lahirlah Bank Muamalat Indonesia pada 1 November 1991. Pada saat penandatanganan Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp 84 Miliar. Kemudian pada tanggal 3 November 1991 dalam acara silaturahmi presiden di Istana Bogor dapat dipenuhi dengan total komitmen awal sebesar Rp. Sebelumnya, pada 18-20 Agustus 1990 diadakan lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Cisarua, Bogor, Jawa barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam dalam Musyawarah Nasional IV MUI pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan Amanat Munas IV MUI tersebut dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Dalam menjalankan operasinya sebagai bank yang berdasarkan prinsip syariah, Bank Muamalat Indonesia mengalami banyak hambatan. Selain karena peraturan hukum tentang bank syariah belum spesifik mengatur dan memberi ruang dalam pengembangan perbankan syariah, juga ketidakmampuan BMI untuk bersaing dengan bank konvensional yang telah memiliki jaringan yang kuat hingga ke pelosok-pelosok daerah. Selain itu, untuk menjaga likuiditas bank dan mempertahankan eksistensinya, yaitu melalui usaha-usaha mendapatkan keuntungan yang sewajarnya melalui bagi hasil, maka BMI tidak bisa mengelak untuk tidak menggarap kalangan menengah keatas sebagai nasabah dan debitur yang paling potensial. Hal ini yang kemudian menyebabkan banyak umat Islam masih belum merasakan kehadiran BMI memberikan sentuhan yang berarti pada mereka sebagai bank yang mengusung nilai-nilai Islam.

Era reformasi kemudian juga memberikan perkembangan baru dalam perbankan syariah di Indonesia. Para pelaku perbankan dan pemerintah telah mendapatkan paradigma baru dalam memandang perbankan Islam di Indonesia. Krisis moneter yang dialami sebelumnya ternyata memberikan implikasi positif dalam sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia. Bentuk perkembangan paling besar bank syariah pada masa itu ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang merupakan regulasi mengenai perbankanuntuk bangkit dari krisis ekonomi yang melanda pada waktu itu.
Dalam Undang-undang tersebut memberi arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Hal tersebut disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional yang ingin mulai memasuki usaha bisnis perbankan syariah, untuk itu Bank Indonesia mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung dengan DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan), kredit , pengawasan, akuntansi, riset dan moneter. Beberapa lembaga perbankan konvensional yang membuka cabang syariah pada masa-masa awal reformasi adalah Bank IFI cabang syariah, Bank Syariah Mandiri, dan Bank BNI Divisi Syariah.
Pada masa ini, ada beberapa permasalahan yang belum terselesaikan dari sistem hukum maupun dari sistem ekonomi mengenai perbankan syariah. Hal ini sebagaimana digambarkan Umar Chappra dan ditidaklanjuti oleh Muhammad Syafi’i Antonio dalam kajian Tazkia Institute. Persoalan-persoalan itu adalah sebagai berikut:
     a)      Pada umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad lainnya belum disiapkan.
     b)      Perbankan syariah dalam perkembangannya cukup pesat, tetapi memiliki asset dan akses pasar yang masih kecil. Baru mencapai lebih dari satu persen dari total asset perbankan nasional sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan ekspansi dan diverifikasi usaha.
     c)      Dalam kondisi demikian, tentunya tingkat persaingan dengan sistem ekonomi konvensional belum berimbang karena terbatasnya jaringan kantor dan lembaga penunjang lainnya. Juga belum memadai untuk keperluan likuiditas dan pengelolaan risiko.
    d)     Belum ada keseragaman dalam praktek akuntansi dan sistem audit perbankan syariah, termasuk didalamnya keseragaman laporan keungan sehingga otoritas pengatur maupun investor mengalami kesulitan untuk melakukan perbandingan dalam menilai kinerja perbankan syariah. Peran Accounting Organization for Islamic Institution di Bahrain belum sepenuhnya dapat mengantisipasi kekurangan ini. Perkembangan terakhir menunjukkan semakin membaiknya kinerja lembaga ini dalam memjalankan tugas-tugasnya.
    e)      Pada umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad lainnya belum disiapkan.
    f)       Perlakuan oleh pihak perbankan syariah disatu sisi dengan nasabah pada sisi lainnya belum berlangsung sesuai prinsip kesetaraan. Masih seperti yang diperaktikkan dalam perbankan konvensional, dimana posisi pihak perbankan masih jauh lebih kuat dibanding nasabahnya. Idealnya, perbankan syariah memperlakukan nasabah sebagai mitranya yang sejajar sehigga tidak terkesan sebagai hubungan kemitraan yang berdasarkan hubungan keyakinan semata, melainkan juga harus rasional dan objektif.
Pada perkembangan selanjutnya hingga saat ini, dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai bank syariah, serta dibentuknya badan-badan khusus yang bertugas membenahi sistem perbankan syariah di Indonesia. Sepanjang tahun 2010 perbankan syariah tumbuh dengan volume usaha yang tinggi yaitu sebesar 43,99% meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 26,55% dengan pertumbuhan dana yang dihimpun maupun pembiayaan yang relative tinggi, serta penyediaan penyediaan akses jaringan yang meningkat dan menjangkau kebutuhan masyarakat secara luas sehingga masih cukup kuat untuk memanfaatkan potensi membaiknya perekonomian nasional.

2.3              Dasar Hukum Bank Syariah

Berdasarkan Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, bank syariah di wajibkan untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Di samping itu, bank syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank syariah juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf.

2.4              Karakteristik Bank Syariah

Karakteristik Bank Syariah diantaranya :
1.      Berdasarkan prinsip syariah
2.      Implementasi prinsip ekonomi Islam dg ciri:
§   pelarangan riba dalam berbagai bentuknya
§   Tidak mengenal konsep “time-value of money”
§   Uang sebagai alat tukar bukan komoditi yg diperdagangkan.
3.      Beroperasi atas dasar bagi hasil
4.      Kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa
5.      Tidak menggunakan “bunga” sebagai alat untuk memperoleh pendapatan
6.      Azas utama => kemitraan, keadilan, transparansi dan universal
7.      Tidak membedakan secara tegas sector moneter dan sector riil (dapat melakukan transaksi 2 sektor riil.

2.5              Fungsi Bank Syariah

Bank syariah dalam skema non-riba memiliki empat fungsi sebagai berikut :
1.      Fungsi Manajer Investasi
Fungsi ini dapat dilihat dari segi penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya dana mudharabah. Bank syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyalur yang produktif, sehingga dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara bank syariah dan pemilik dana. 

2.      Fungsi Investor
Dalam penyaluran dana bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik dana). Penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor – sektor yang produktif dengan risiko minim dan tidak melanggar ketentuan syariah.
Produk investasi yang sesuai dengan syariah diantaranya akad jual beli (murabahah, salam, dan istishna), akad investasi (mudharabah dan musyarakah), akad sewa menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik) dan beberapa akad lainnya yang dibolehkan oleh syariah.

3.      Fungsi Sosial
Fungsi ini merupakan sesuatu yang melekat pada bank syariah. Ada dua instrumen yang digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) dan instrumen qardhul hasan. Instrumen Ziswafberfungsi untuk menghimpun ziswaf dari masyarakat, pegawai bank, serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Instrumen qardhul hasan berfungsi menghimpun dana dari penerimaan yang tidak memenuhi kriteria halal serta dana infak dan sadaqah yang tidak ditentukan peruntukannya secara spesifik oleh yang memberi.

4.      Fungsi jasa keuangan
Fungsi jasa keuangan yang dijalankan oleh bank syariah tidaklah berbeda dengan bank konvensional, seperti memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran gaji, letter of guarantee, letter of credit, dan lain-lain.
Namun mekanisme untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut, bank syariah tetap menggunakan skema yang sesuai dengan prinsip syariah.

2.6              Prinsip Bank Syariah

Dalam melaksanakan fungsi jasa keuangan perbankan syariah menggunakan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, diantaranya :
a.       Prinsip Wakalah
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
b.      Prinsip Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul anhu ashil)
c.       Prinsip Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhil) kepada orang lain yang menanggungnya (munhal’ alaih)
d.      Prinsip Sharf
Prinsip Sharf adalah prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
e.       Prinsip Ijarah
Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa, apabila dikaitkan dengan penggunaan barang maka diistilahkan dengan sewa – menyewa sedangkan apabila dikaitkan dengan penggunaan jasa maka diistilahkan dengan upah – mengupah.

2.7              Kegiatan Usaha Bank Syariah

1.      Penghimpun Dana
2.      Penyaluran dana
3.      Jasa pelayanan
4.      Berkaitan dengan surat berharga
5.      Lalu lintas keuangan dan pembayaran
6.      Berkaitan dengan pasar modal
7.      Investasi
8.      Dana pensiun
9.      Sosial

2.8         Prinsip – Prinsip Dalam Menghimpun Dana Bank Syariah

Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.


Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.
Ketentuan umum dari produk ini adalah :
•           Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imabalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kapada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
•           Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
•           Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekadar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
•           Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Yang termasuk dalam produk Bank Syariah dalam menghimpun dana yaitu :
1.      Giro Syariah
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan  cek/ bilyet giro, atau dengan cara pemindahbukuan.
2.      Tabungan Syariah
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek/bilyet giro.
3.      Deposito Syariah  
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank.
     
Mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.

Jenis-Jenis Mudharabah
•           Mudharabah Mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharaba dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
•           Mudharabah Muqayyadah
Adalah jenis mudharabah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu misalnya hanya boleh digunakan untuk usaha tertentu, di kota tertentu, dan dalam waktu tertentu. Ikatan-ikatan ini membuat akad mudharabah menjadi terikat dan sempit sehingga disebut mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah).
Mudharabah Muqayyah terbagi 2 yaitu :
§  Mudharabah Muqayyadah on Balance sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, disyaratkan digunakan deangan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
§  Mudharabah Muqayyadah off Balance sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada  usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.

2.9              Prinsip – Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah

                  a.      Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Dalam melakukan jual beli  digunakan 3 skema yang meliputi :
§  Jual beli dengan skema Murabahah
Jual beli dengan skema ini menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Skema ini digunakan oleh bank untuk nasabah yang hendak memiliki suatu barang, sedangkan nasabah yang bersangkutan tidak memiliki uang pada saat pembelian. Dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai penjual sedangkan nasabah yang membutuhkan barang bertindak sebagai pembeli.
§  Jual beli dengan skema Salam
Jual beli dengan skema ini merupakan jual beli yang pelunasannya dilakukan terlebih dahulu oleh pembeli sebelum barang pesanan diterima.
§  Jual beli dengan skema Istishna
Jual beli dengan skema ini adalah jual beli yang didasarkan atas penugasan oleh pembeli kepada penjual yang juga produsen untuk menyediakan barang atau suatu produk sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati.

      b.      Prinsip Investasi
Dalam melakukan investasi, dapat dilakukan dengan skema mudharabah dan skema musyarakah.

Investasi dengan skema Mudharabah
Akad investasi dengan skema mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.
Dalam skema ini bank bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana), sedangkan nasabah yang menerima pembiayaan bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), seluruh modal berasal dari pihak bank syariah sebagai pemilik dana.

Investasi dengan skema Musyarakah
Investasi dengan skema ini adalah kerja sama investasi para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka pada suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung semua pemilik modal berdasarkan porsi pemilik modal masing – masing.

     c.       Prinsip Sewa
Sewa dengan skema Ijarah
Sewa dengan skema ijarah adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan. Dalam transaksi ini bank syariah bertindak sebagai pemberi sewa atau pemilik objek sewa, sedangkan nasabah bertindak sebagai penyewa.
Sewa dengan skema Ijarah Muntahiya Bittamlik
Sewa dengan skema ini adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disediakannya dengan opsi perpindahan hak milik pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Berbeda dengan transaksi Ijarah, pada transaksi ini memberi hak pilih pada penyewa untuk memiliki barang yang disewa.

      d.      Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Transaksi yang penanaman dana dari pemilik modal dengan pengelola untuk melakukan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.

Produk pembiayaan syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah:
§  Musyarakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana secara bersama – sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Bentuk kontribusi dari pihaki yang bekerja sama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), keahlian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset( seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang – barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentu kontribusi masing – masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.

§  Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal mempercayakan seju7mlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola. Beberapa ketentuan umum mudharabah adalah :
  ü  Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harusd iserahkan tunai;
  ü  Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara: perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit loss sharing).
  ü  Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu yang disepakati.
  ü  Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah.

      e.       Akad pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembayaran. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya – biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekadar untuk menutupi biaya yang benar – benar timbul.
ü  Hiwalah ( Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktik perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk melanjutkan suplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.

 ü  Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Milik nasabah sendiri,
- Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
- Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat menggnakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
ü  Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal yaitu:
- Sebagai pinjaman talangan haji, diman nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
- Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
- Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
- Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara angsur melalui potongan gajinya.
ü  Wakalah (Perwakilan )
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa pada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of Credit), inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukuan L/C, apabila dana nasabah tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah.
ü  Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk mrnjamin suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahnb. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.

f.       Pembiayaan dengan bagi basil
·         Al-musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau le­bih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak membe­rikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
AI-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek.Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.
·         AI-mudharabah
Pengertian AI-mudharabahadalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.
Ø   mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
Ø   mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
Dalam dunia perbankan biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan mo­dal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.

2.10          Keunggulan Dan Kelemahan Bank Syariah

2.10.1                Keunggulan Bank Syariah

1)      Bank syariah relatif lebih mudah merespons kebijaksanaan pemerintah;
2)      Terhindar dari praktik money laundring;
3)      Bank syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya;
4)      Tidak mudah dipengaruhi gejolak moneter;
5)      Mekanisme bank syariah didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan dan kebersmaan.

2.10.2    Kelemahan Bank Syariah

1)      Jaringan kantor bank syariah belum luas;
2)      SDM bank syariah masih sedikit;
3)      Pemahaman masyarakat tentang bank syariah masih kurang;
4)      Kekeliruan penilaian proyek berakibat lebih besar daripada bank konvensional.




BAB III

KESIMPULAN


Dari uraian kita sepakati bersama bahwa perbankan islam adalah lembaga keuangan yang menjalankan aktivitas perbankan konvensional murni yang tidak sama sekali ada kaitannya dengan kegiatan keagamaan yang akan menimbulkan kontradiksi apabila terjadi sebuah kesalahan, maka agama islam termasuk di dalamnya umat islam itu akan tersalahkan.
Namun dalam kegiatannnya perbankan islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya perbankan islam adalah untuk menyempurnakan dari sistem sosialis dan konvensional. Yang bukan saja berorientasi pada profitabilitas tapi juga bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat menciptakan sebuah kegiatan perbankan yang efisien dan efektip (bebas dari Riba, Gharar, Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan menghilangkan paradigma dzalim.

 

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA


Buku :
Andri Soemitra. 2009. Bank dan lembaga keuangan syariah. Jakarta : Kencana.
Kautsar Riza Salman. 2012. Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta : Indeks.
Sumber lain :
http://www. Makalahegi.blogspot.com Diakses pada tanggal 01 Mei 2014
http://www. Eramoeslem.com”ekonomi syariah